Fitrah Islami Online

Penyebar Ilmu dan Maklumat Islami

ADA DUA PENYAKIT UNTUK ORANG YANG MENGAJI DAN ORANG TAK MENGAJI.

Kredit: Dr Mohd Murshidi Mohd Noor

Penyakit orang mengaji – suka memperlekeh orang tak mengaji, memandang rendah kepada orang tak mengaji, ada juga yg timbul rasa ujub dalam diri. Sepatutnya bimbing orang tak mengaji agar mereka menghadiri pengajian, gemar kepada pengajian, memperbetulkan amalan, dsb.

Penyakit orang tak mengaji – berasa diri tahu belaka, berani kondem ulama besar, mengutuk orang lain, tidak berakhlak, tidak beradab, tidak rasa bersalah apabila melakukan sesuatu ibadat tanpa ilmu, enggan utk hadir majlis ilmu, dsb.

Justeru, perbanyakkan membaca Al-Quran, berzikir kepada Allah سبحانه وتعالى, cinta kepada majlis ilmu dan zikir, cinta kepada ulama, beradab kepada ulama, menghormati ibu bapa, mengadakan hubungan yg baik dgn kawan2, insya-Allah, dapat menyelesaikan banyak permasalahan dalam kalangan umat Islam kini. Ilmu adalah fardu ain. Kewajipan ke atas kita semua utk mempelajarinya. Ilmu tidak akan habis dipelajari sehingga akhir hayat kita.

Wallahu’alam.

24/09/2021 Posted by | Tazkirah | Leave a comment

Keutamaan Menghormati Pemimpin Sebagai VIP

Di dalam berbangsa dan bernegara, keberadaan seorang pemimpin merupakan suatu hal yang sangat fundamental. Tanpa adanya pemimpin, sebuah negara tidak mungkin berjalan sesuai apa yang diharapkan, baik dalam aspek agama, sosial, dan budaya. Islam sebagai agama universal mengatur semua aspek kebutuhan manusia.

Suatu hal yang sangat kecil pun seperti keluar masuk kamar mandi diatur dalam agama Islam, apalagi dalam urusan bernegara yang lingkupnya sangat besar dan menjadi keperluan pokok umat manusia. Oleh karena itu, di dalam agama Islam umat nya diwajibkan agar taat dan menghormati pemimpin, serta dilarang menghinanya.

Hal ini sebagaimana termaktub dalam sabda Nabi Muhammad SAW sebagaimana berikut:

عَنْ أَبِي بَكَرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ “مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا، أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا، أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Diriwayatkan dari Abu Bakrah ia berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa memuliakan pemimpin di dunia, maka Allah akan memuliakannya di akhirat. Namun barang siapa merendahkan (menghina) pemimpin di dunia, maka Allah akan merendahkannya di akhirat.

(HR. Al-Turmidzi No. 2224)

Secara garis besar, dalam hadis di atas terkandung dua hal pokok dalam urusan kepemimpinan.

Pertama menjelaskan sebuah gambaran bahwa Nabi Muhammad SAW, memerintahkan kepada umatnya agar selalu mematuhi serta memuliakan pemimpinnya. Karena pemimpin merupakan faktor utama berjalannya tata kelola sistem dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat. Baik dalam hal yang cakupannya kecil seperti pemimpin rumah tangga, hingga hal yang cakupannya besar yaitu pemimpin negara. Oleh karena itu Islam memerintahkan umatnya agar senantiasa taat dan patuh kepada pemimpin.

Kewajiban taat serta menghormati pemimpin dalam hadis di atas, diperkuat dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. Al-Nisa’ ayat 59)

Imam Ibn Katsir dalama kitab Al-Tafsir li Ibn Katsir, mengatakan bahwa selain mangandung kewajiban patuh kepada Allah dan Rasul, ayat ini juga menjelaskan kewajiban seorang muslim agar patuh kepada pemimpin selagi perintahnya bukan dalam hal-hal yang diharamkan serta hal-hal yang menimbulkan mafsadah.[1] Oleh karena itu, yang harus digarisbawahi adalah ketaatan kepada pemimpin ialah bukan dalam rangka untuk bermaksiat kepada Allah SWT, karena ketaatan kepada Allah harus lebih didahulukan daripada ketaatan kepada mereka.

Terkait dengan hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ إِنَّمَا الطَّاعَةَ فِي الْمَعْرُوْف

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.”

(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu).

Hal pokok kedua tentang kepemimpinan yang terkandung dalam hadis di atas ialah larangan menghina serta memberontak kepada pemimpin. karena merendahkan atau menghina merupakan suatu hal yang tidak sesuai dengan moral kemanusiaan. Oleh karena itu Islam melarang kepada umatnya untuk menghina sesama apalagi kepada pemimpinnya. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda:

بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ

“Cukuplah seseorang berbuat keburukan jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim).

Sedangkan hadis yang secara eksplisit melarang seorang muslim untuk menghina kepada pemimpinnya, dapat tergambarkan dalam potongan sabda Nabi di atas sebagaimana berikut.

مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا، أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa merendahkan (menghina) pemimpin di dunia, maka Allah akan merendahkannya di akhirat.”

(HR. Al-Turmidzi No. 2224)

Selain melarang menghina pemimpin, Nabi Muhammad SAW sangat melaranng umatnya memberontak kepada pemimpin, walaupun pemimpin tersebut zalim. Memberontak dengan cara memerangi pemimpin yang zalim, walaupun dengan tujuan amar ma’ruf nahi mungkar, sangat tidak diperbolehkan. Karena hal itu akan menimbulkan perpecahan bahkan pertumpahan darah, sehingga menimbulkan mafsadah yang lebih besar.

Atas dasar itulah, jika kita sebagai pihak yang dipimpin kemudian berpaling dari kepemimpinan mereka, dengan cara menampakkan penolakan, atau dengan cara menghina mereka, maka hal tersebut merupakan suatu hal yang diharamkan dalam agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda.

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa membenci tindakan (kebijakan) yang ada pada penguasanya, hendaklah dia bersabar. Karena siapa saja yang keluar dari (ketaatan) terhadap penguasa (seakan-akan) sejengkal saja, maka dia akan mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyyah.”

(HR. Bukhari no. 7053 dan Muslim no. 1849. Lafadz hadits ini milik Bukhari.)

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat untuk melarang kaum muslimin ke luar untuk memberontak terhadap seorang pemimpin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur[2]. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wajibnya taat kepada mereka dalam hal-hal yang bukan maksiat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang nyata. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari sahabat ‘Ubadah bin Shamit, ia berkata:

دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ فَبَايَعْنَاهُ، فَكَانَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا، أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْراً بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ

“Rasulullah memanggil kami, lalu kami berbai’at kepada beliau. Di antara yang beliau tekankan kepada kami adalah agar kami selalu mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam keadaan suka maupun tidak suka dalam kesulitan atau pun kemudahan, bahkan dalam keadaan penguasa mengurus kepentingannya mengalahkan kepentingan kami sekalipun (tetap wajib taat). Dan tidak boleh kami mempersoalkan suatu perkara yang berada di tangan ahlinya (penguasa). Selanjutnya beliau bersabda: ‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas dan kalian memiliki bukti yang nyata dari Allah dalam hal itu.”

(HR. Al-Bukhari (no. 7055-7056) dan Muslim (no. 1709 (42))

Walaupun demikian, bukan berarti agama Islam pro dengan kepemimnan yang otoriter, tentunya agama Islam sangat mengecam seorang pemimpin yang sewenang-wenang dan tidak memenuhi kewajibannya serta berbuat zalim. Kewajiban rakyat agar sabar serta tidak memberontak kepada pemimpin yang zalim, semata-mata untuk menghindari adanya perpecahan yang dapat menyebabkan pertumpahan darah, serta mafsadah yang lebih besar lainnya.

Kredit: Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.

Tebuireng Online

[1] Tafsiir Ibn Katsiir (2/ 345)
[2] Fat-hul Baari (13/124-125), Syarah Muslim (12/229).

15/09/2021 Posted by | Politik dan Dakwah, Tazkirah | , | Leave a comment

AL-FIQH AL-MANHAJI

Adakah kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘Ala Madhhab al-Imam al-Shafi’i dikira sbg rujukan muktamad dalam mazhab Shafi’i? Tidak. Ia merupakan kitab utk memudahkan umat Islam mempelajari fiqh berdasarkan mazhab Shafi’i.

Oleh yg demikian, terdapat beberapa pandangan fiqh dalam kitab ini yg tidaklah diambil pandangan muktamad dalam mazhab Shafi’i. Utk permasalahan sebegini, para pembaca perlu berhati-hati agar tidak tersalah anggap bahawa kesemua yg terdapat dalam kitab ini, pandangan muktamad belaka. Kemungkinan ada sebab pengarang tidak mengambil pandangan muktamad, seperti kes utk meraikan uruf semasa dsb. Misalnya berdasarkan kajian yg khusus utk topik Solat sahaja, terdapat tujuh permasalahan dlm al-Fiqh al-Manhaji, tidaklah diambil pandangan muktamad dalam mazhab Shafi’i.

Biasa yg disebut oleh ulama, rujukan mu’tamad dalam mazhab Shafi’i adalah seperti al-Tuhfah oleh Imam al-Haytami atau al-Nihayah oleh Imam al-Ramli. Apa2 pun, kitab al-Fiqh al-Manhaji adalah sebuah kitab yg sangat bermanfaat, serta sesuai utk dijadikan rujukan awam dan para penuntut ilmu fiqh.

Wallahu’alam.

Kredit: Dr Mohd Murshidi Mohd Noor

09/09/2021 Posted by | Bicara Ulama, Informasi, Tazkirah | Leave a comment

SIAPAKAH ILMUWAN/ULAMA?

Sekurang-kurangnya sudah dua dekad apabila saya diutarakan persoalan tertentu, kemudian saya jawab, biarkan persoalan tersebut diselesaikan para ilmuwan, saya akan ditanya kembali – siapakah para ilmuwan itu? Bolehkah anda nyatakan siapakah mereka? Adakah mereka ahli akademik? Sudah tentu ini semua bukan masalah buat saya, tetapi kelihatannya menjadi masalah dalam masyarakat kita.

Baiklah, apakah perbezaan antara ilmuwan dengan ahli akademik? Ahli akademik adalah orang yang kaya dengan pelbagai maklumat: segala maklumat tersebut di hujung lidah mereka; mereka boleh memetiknya dengan menyatakan pelbagai rujukan, namun, apabila mereka cuba mengaitkannya dengan sesuatu masalah atau cuba membangunkan epistemologi, ontologi dan kosmologi, mereka tidak berupaya melakukannya.

Memang, seorang ilmuwan juga kaya dengan pelbagai maklumat, tetapi bezanya, ilmuwan berkeupayaan membangunkan epistemologi, memiliki ontologi dan kosmologi, ilmuwan menguasai semua itu – mereka memiliki sistem pemikiran yang lengkap.

Oleh itu, apabila timbul sebarang masalah ia dapat mengecamnya, ia dapat mengenal pasti asas permasalahannya, mungkin berdasarkan penelahaannya ia mendapati masalah tersebut juga pernah ada dahulu. Atau ia juga boleh menggunakan pertimbangannya sendiri untuk merungkaikan masalah berkenaan.

Seterusnya, menjawab persoalan tadi tentang siapa ilmuwan itu, dalam bahasa Melayu, merekalah ulama. Sungguhpun begitu, ulama yang kita maksudkan bukanlah mereka yang hari ini dianggap ulama atau ustaz.

Kita juga tidak maksudkan mereka yang menyatakan diri sebagai ulama. Golongan ini tidak lebih sekadar golongan yang pandai menyerlahkan diri, hakikatnya mereka cuma memakai jubah ulama atau disarungkan jubah ulama oleh para politikus.

Untuk memahami apa yang dimaksudkan sebagai ulama itu, kita terlebih dahulu perlu merujuk kata akarnya (dalam Bahasa Arab) yakni ‘ain-lam-mim. Ilm ini merujuk kepada apa? Sudah tentu ilm ini merujuk kepada Tuhan dan umat manusia.

Namun dalam kewujudan kita di dunia ini, ilm yang dimaksudkan ini berkait dengan umat manusia, bukannya kepada haiwan serta makhluk-makhluk lain. Justeru ilmu apakah yang relatif kepada umat manusia ini? Ilmu ini ialah ilmu tentang ‘alam semesta ini dan alam akhirat.

Namun perkataan ‘alam juga berasal daripada kata akar yang sama iaitu ‘ain-lam-mim. Menurut pandangan alam Islam, alam semesta ini mestilah ada Penciptanya, iaitu Al-Alim. Justeru, Al-Alim adalah salah satu daripada sifat-sifat Allah.

Semua kata ini juga berasal daripada kata akar yang sama. Jadi, ulama ialah orang yang mampu menghubungkan ilmu bukan sahaja dengan alam bahkan dengan Yang Memiliki Ilmu. Itulah epistemologinya. Itulah ontologinya. Itulah pula kosmologinya seperti mana yang dihuraikan oleh pandangan alam Islam.

Inilah yang saya maksudkan sebagai sebenar-benar ulama – yang mampu menghubungkan kesemua hal ini dengan meletakkan tiap-tiap sesuatu pada tempatnya.

Sebaliknya, hal ini tidak dapat dilakukan oleh ahli akademik. Sudah tentu mereka mempunyai pembacaan yang luas, berpengetahuan terhadap pelbagai kajian dan buku.

Tetapi jika ditanyakan cara menyelesaikan masalah hari ini, kemungkinan besar ahli akademik ini akan kembali ke masa lampau, menyebutkan beberapa judul buku sejarah atau masalah tertentu dalam sejarah lalu menukilkan tindakan-tindakan penyelesaian yang dilakukan oleh orang pada masa itu. Sama ada boleh diguna pakai pada masa sekarang, itu persoalan yang lain. Itulah ahli akademik – terlalu berpegang kepada buku.

Apapun, satu hal menarik yang dimiliki ulama, orang yang menguasai sistem pemikiran yang menyeluruh ini – yakni selain menguasai epistemologi, ontologi dan kosmologi – adalah mereka memiliki sejenis keupayaan budi bicara atau kearifan, yang dalam kalangan mereka dijuluki sebagai “ilmu bayan”.

Tidak boleh tidak mereka pasti memiliki keupayaan ini, kearifan inilah yang mentakrifkan ulama, sebenar-benar ulama, sebenar-benar ilmuwan. Orang yang memiliki keupayaan ini, tahu cara memanfaatkannya, sekalipun sesuatu masalah itu tidak pernah diketemukan pada masa lalu. Inilah perbezaan antara ulama’ dengan ahli akademik.

Lalu, jika anda bertanya siapa ulama seperti itu hari ini? Anda carilah sesiapa yang memiliki ciri-ciri sedemikian. Orang seperti ini memiliki sistem pemikiran yang menyeluruh, yang telah pun membangunkannya menjadi lengkap sejak awal.

Dalam kata lain, dari sudut pandangan keilmuan, orang seperti ini mengembangkan keupayaan istimewa tadi ke dalam ontologi, kosmologi dan sistem pemikirannya yang menyeluruh, dengan berpandukan pandangan alam Islam dan wahyu. Inilah sebenar-benar ulama.

Sayangnya, ilmuwan sebegini bilangannya amat kecil. Jumlahnya amat sedikit, bukan maksud saya untuk menyatakannya tiada langsung, kita memilikinya. Tetapi tersangat langka. Mungkin terlalu sedikit. Walaupun begitu, katakan jika tidak ada sosok ilmuwan seperti itu yang masih hidup sekarang, kita masih lagi memiliki karangan agung tinggalan mereka yang diwariskan kepada kita.

Sebab itulah saya tidak jemu mengingatkan perkara yang mustahak ini: daripada membazirkan wang kita, sumber kita untuk membeli benda-benda yang tidak memiliki manfaat kepada umat manusia secara keseluruhan, lebih baiklah kita secara sedar lagi serius memikirkan cara membangunkan perpustakaan negara khusus buat para ilmuwan. Kajilah tinggalan karangan ulama sejati.

Pelihara dan puliharalah karya-karya ini, gunakan dan ajarilah anak-anak kita di sekolah dengan karya-karya itu.

Maksud saya, sesetengah ulama sejati seperti Nur al-Din al-Raniri memang sudah tidak hidup lagi, tetapi karangannya dalam pelbagai bidang ilmu masih lagi dijaga rapi dalam kalangan ilmuwan.

Sayangnya tidak ada yang berminat untuk belajar daripada karya-karya agungnya itu. Tidak ada pelajar yang berminat untuk mengkaji pelbagai aspek falsafah dan kesarjanaannya, yang sebenarnya adalah Hikmah Melayu.

Jangan pernah fikir Hikmah Melayu hanya terhad untuk orang-orang Melayu sahaja. Inilah warisan kita bersama. Warisan tersebut berakar daripada Islam, kerana itu, segala hikmah yang bermanfaat bagi warisan ini perlu kita pulihara.

[Terjemahan berdasarkan transkripsi perkongsian di radio IKIM,
28 Julai 2018]

KREDIT: FB SYED ALWI TAUFIK AL ATTAS

06/09/2021 Posted by | Bicara Ulama, Informasi, Tazkirah | , | Leave a comment